Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

Advokad: Antara Klien, Hukum dan Keadilan

Avatar photo
IMG 20190725 WA0080

Oleh: Yoseph Paun Silli Bataona, S.H (Kepala Perwakilan Majalah Fakta Hukum Indonesia)

KUPANG, Flobamora-news.com – Dalam sejarah awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini tidak terlepas dari cita-cita filsafat yang dirumuskan oleh para pendiri dalam konsep “Indonesia adalah negara hukum (rechstaat)”. Mengandung arti Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, serta menentukan bahwa dalam hubungan antara hukum dengan kekuasaan. Kekuasaan harus tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat yang berkesinambungan. Hal ini menjadi pijakan tegaknya supremasi hukum. Supermasi hukum bukan hanya memerlukan dukungan pemerintah yang bersih dan berwibawa tetapi juga oleh pemerintah yang didasarkan oleh supremasi moral. Akan tetapi mewujudkan supremasi hukum tidaklah muda dalam kenyataannya, banyak kendala dan hambatan yang dihadapi, diantaranya adalah lemahnya penegakkan hukum (law enforcement) sehingga mempunyai implikasi pada lemahnya kesadaran hukum di masyarakat, yang antara lain juga disebabkan masih lemahnya komitmen dari aparat penegak hukum termasuk advokat sebagai bagian dari Catur Wangsa (empat pilar) penegak hukum, yakni Polisi, Hakim, Jaksa dan Advokat.
Jika kita melihat proses penegakkan hukum di negara kita (khususnya NTT) akan terlihat; merebaknya kolusi diantara penegak hukum atau antara penegak hukum dengan pencari keadilan berupa persekongkolan curang (fraudulant) atau ketidakjujuran (deceit) untuk membenarkan kebohongan. Suap atau sogok (bribery) sebagai salah satu bentuk dari kolusi merupakan hal yang nyata meski sulit dibuktikan. Adanya pemerasan (blackmail) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kepada pencari keadilan yang terjadi di setiap instansi mulai dari penyidik, penuntut umum, peradilan hingga oknum advokat. Memang sulit untuk membuktikan hal tersebut akan tetapi dapat dirasakan. Adanya penyalahgunaan ketentuan Hukum Acara (abuse of legal procedure) baik acara perdata seperti yang berkaitan dengan eksekusi grosse akte dan eksekusi putusan peradilan maupun penyalahgunaan acara pidana yang berkaitan dengan upaya paksa yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang serta ketidakpedulian akan Hak Asasi Manusia (human right).
Dalam proses law enforcement oleh penegak hukum banyak kita temukan hal-hal yang melanggar prinsip equal justice before the law (persamaan keadilan di muka hukum). Aparat penegak hukum sering memperlihatkan perlakuan yang tidak sama; yakni dalam penanganan sebuah kasus walaupun kasus tersebut sama tetapi tidak diterapkan ketentuan hukum yang sama. Bagi para penjahat kelas rendah seperti maling ayam, dilakukan penegakkan hukum secara keras, tegas dan maksimal, sebaliknya para koruptor yang dianggap memiliki kelas sosial yang lebih tinggi diberi perlakuan yang sangat lunak, bahkan cendrung istimewa. Dalam artian bahwa wibawa hukum dan pengadilan sedang mengalami keterpurukan, oleh karena sistem hukum telah didominasi oleh kepentingan politik dan ekonomi sehingga keadilan tidak lebih dari sekedar barang komoditas yang diperjualbelikan. Bahkan ketika lembaga peradilan yang terhimpun dalam criminal justice system yang dianggap sebagai instrumen utama dalam menentukan keadilan malah telah dikotori oleh oknum-oknum yang senantiasa memperjualbelikan keadilan atau yang biasa disebut mafia peradilan dimana keadilan telah dicampuradukan dengan berbagai bentuk intervensi komersial. Terhadap gambaran aktual ini, secara kasat mata masyarakat secara gamblang dapat melihat praktek-praktek kotor dalam proses penegakan hukum yang jauh menyimpang dari nilai-nilai keadilan.
Advokat sebagai salah satu elemen penegak hukum di Indonesia. Bukannya melaksanakan tugas mereka untuk menegakkan keadilan, justru menghalalkan segala cara untuk bisa memenangkan klien mereka dalam sebuah kasus. Padahal Tugas utama seorang advokat adalah memberi pendampingan hukum, membela dan memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum, bukan untuk semata-mata memenangkan klien. Advokat hadir bukan untuk mengalahkan atau memenangkan terdakwa, tapi menyelamatkan hak-hak klien. Baik di tingkat peradilan, atau pun tahapan pemeriksaan kepolisian, dan kejaksaan.
Tentunya dalam melaksanakan tugasnya, Advokat atau Pengacara akan berhak mendapatkan honarium atau imbalan atas jasa hukum yang diberikannya dari klien. Jumlah dari honarium ini biasanya disepakati oleh Advokat dan klien pada awal dimulainya kerja sama mereka dalam sebuah kasus. Terkadang, kesepakatan inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa seorang advokat akhirnya justru melanggar tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Klien terkadang sudah menjanjikan honarium yang besar kepada Advokat untuk memenangkan kasusnya, sehingga Advokat kemudian memilih untuk melanggar kode etiknya sendiri dengan tidak melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya, Advokat justru berusaha memenangkan kasus dengan berbagai cara, seperti melakukan tindak suap kepada hakim atau korupsi, menghalangi penyelidikan, dan memberikan keterangan atau kesaksian palsu.
Menurut hemat saya, Advokat seharusnya mampu menjadi penyeimbang dan menjaga nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat, justru memberikan konstribusi atas rusaknya citra penegakan hukum. Namun demi kepentingan klien, dalam memberikan legal opinion advokat sering memberikan opini yang menyesatkan, bahkan dalam penanganan perkara pidana oknum advokat malah terkesan hanya menjadi makelar/penghubung antara tersangka dengan penyidik dan menegosiasikan harga suap yang harus disetor.
Hal ini dapat dihindari jika aparat penegak hukum dijaga oleh kendali moral yang kuat dan memegang teguh kode etik profesi masing-masing. Akibat dari kelemahan kelemahan di atas, maka proses penegakkan hukum di Indonesia khususnya NTT memiliki ciri-ciri yang bersifat : tidak pasti (uncertainty) dan tidak dapat diramal (unpredictable). Untuk itulah kini saatnya bagi para kader hukum (mahasiswa hukum) dan para penegak hukum (khususnya Advokat yang baru meniti kariernya) mesti berupaya menjadi pionir yang mendorong penegakkan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, sehingga tercipta kepastian hukum yang sejalan dengan nilai keadilan sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini. Hal ini memang tidak mudah untuk dilaksanakan, tetapi bukan hal yang mustahil pula untuk diwujudkan, ini semua berpulang pada nurani dan nilai moral pribadi masing-masing.

Baca Juga :  HOAX, Ujaran Kebencian, Intoleranisme dan Radikalisme Musuh Bersama Kemanusiaan