Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Strategi Penagananan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT) di Provinsi NTT Kerja Sama UNICEF

Avatar photo
20190416 155852

Press Realese:
Drg. Dominikus Minggu, M.Kes
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT

KUPANG, Flobamora-news.com – Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi status gizi buruk (severe wasting atau “sangat kurus”) pada balita telah menurun dari 6,2% (2007) menjadi 5,3% (2013) dan 3,5% (2018); sedangkan status gizi kurang (wasting atau “kurus”) dari 7,4% (2007) menjadi 6,8% (2013) dan 6,7% (2018).

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Proporsi status gizi buruk dan gizi kurang pada balita, 2007-2018, Riskesdas
Lebih lanjut, Riskesdas 2018 memberikan gambaran proporsi status gizi “sangat kurus” (gizi buruk) dan “kurus” (gizi kurang) pada balita menurut provinsi pada tahun 2013 dan 2018 .
Di NTT, hasil Riskesdas 2018 (>14%) menunjukkan adanya penurunan prevalensi kekurangan gizi akut dibandingkan hasil Riskesdas 2013, namun prevalensinya masih tinggi dimana menurut standar WHO masuk dalam kategori serius yakni >10%.

Menurut kriteria WHO, provinsi-provinsi di Indonesia termasuk dalam kategori “serius” (prevalensi 10-14%), “buruk” (5-9%) dan “dapat diterima” (kurang dari 5%).

Baca Juga :  Kamijo Ajak Masyarakat Saksikan Pameran Produk Inovasi

Apa Dampak Gizi Buruk?
Gizi Buruk menyebabkan terganggunya sistem kekebalan tubuh seorang anak, meningkatkan lama dan keparahan penyakit menular yang dideritanya, dan juga resiko kematian. Gizi buruk juga berdampak negatif pada perkembangan fisik dan mental dari seorang anak dalam jangka panjang.

Sangat kurus/gizi buruk adalah bentuk kekurangan gizi anak yang paling berbahaya, dan merupakan keadaan darurat medis yang membutuhkan perhatian segera. Anak-anak dengan Gizi Buruk 11,6 kali beresiko meninggal dibandingkan anak-anak yang memiliki status gizi yang baik. Sementara anak yang menderita gizi buruk dan stunting beresiko meninggal 12.3 kali.

Mengapa Penanganan Gizi Buruk Penting dan Hubungannya dengan Penurunan stunting?
Berbagai penelitian membuktikan bahwa anak yang mederita kekurangan gizi akut/gizi buruk cenderung menjadi stunting dan demikian pula anak yang stunting cederung menderita gizi buruk. Periode ketika anak menderita gizi buruk, atau memiliki berat badan yang fluktuatif, meningkatkan resiko menjadi stunting .

Baca Juga :  Problem Kemiskinan di Indonesia dan NTT

Penelitian yang lain juga menunjukan bahwa selama periode perawatan karena mederita gizi buruk, pertumbuhan tinggi badan anak-anak tersebut melambat sampai berat badannya kembali normal . Penemuan ini secara kuat menunjukan bahwa tubuh menyesuaikan terhadap kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan cara memperlambat pertumbuhan tinggi /panjang badan .

Penting untuk di tekankan bahwa mencegah dan mengatasi gizi buruk berkontribusi terhadap pencegahan stunting pada anak. Hal ini sesuai dengan Lancet series 2013, merekomendasikan penanganan gizi buruk sebagai salah satu komponen penting, intervensi gizi spesifik, dalam mengatasi kekurangan gizi.

Komitmen Pemerintah dalam penanggulangan gizi buruk pada balita telah lama didengungkan di tingkat nasional dan ditindak-lanjuti melalui berbagai upaya. Misalnya, melalui upaya penyuluhan gizi, peningkatan cakupan penimbangan balita, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan bagi balita dengan gizi kurang, peningkatan kapasitas petugas dalam tata laksana balita gizi buruk, pembentukan Therapeutic Feeding Centre (TFC) dan Community Feeding Centre (CFC) sebagai pusat-pusat pemulihan gizi di faskes. Selain itu, pada tahun 2016 dikembangkan perangkat lunak yang menghasilkan data elektronik status gizi balita menurut nama dan alamat, walaupun cakupannya masih terbatas.

Baca Juga :  Peserta JKN-KIS Tetap Peroleh Pelayanan Saat Libur Lebaran

Dengan cakupan penanganan balita gizi buruk yang diperkirakan mencapai sekitar 20.000 balita pada tahun 2017, maka cakupan penanganan kasus balita dengan gizi buruk baru mencapai sekitar 2,5% dari perkiraan jumlah total balita gizi buruk.

Perbaikan kualitas pelayanan dan peningkatan kerjasama lintas sektor/program, serta keterlibatan masyarakat diperlukan untuk menanggulangi masalah kekurangan gizi pada balita. Sedikitnya anak anak gizi buruk yang di tangani antara lain di sebabkan oleh:

1. kurangnya pelacakan kasus aktif (anak sangat kurus tidak ditemukan oleh petugas kesehatan );

2. Rendahnya permintaan untuk mendapatkan pelayanan (Pengasuh tidak mengerti pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan);