Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

Kapolres “Destroyer” Nagekeo

Editor: Destroyer
IMG 20230420 WA0107

Oleh Steph Tupeng Witin

NAGAKEO, Flobamora-news.com -Nama Kapolres Nagekeo adalah AKBP Yudha Pranata. Saat pelantikan, ia bersumpah menjaga kedamaian dan kerukunan hidup warga Nagekeo. Tanggung jawab yang melekat dalam sumpah jabatan itu berdasarkan tujuan nasional Indonesia sebagaimana tercermin pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jabatan Kapolres merepresentasikan kehadiran negara. Misi negara yang diemban adalah menjadi pengayom dan pelindung kehidupan seluruh elemen warga.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Terkait misi profetis ini, Kapolres Yudha harus melepaskan berbagai kepentingan primordial yang melekat dalam dirinya: agama, suku, kepentingan ekonomi, kiblat politik dan sebagainya. Kualitas pengabdian dan profesionalisme pelayanan publik akan tercermin melalui proses penegakan hukum yang-mengutip kalimat akhir alinea keempat Pembukaan UUD 1945-“..berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Maka ukuran kinerja Kapolres Nagekeo adalah menjamin ketertiban dan keamanan menuju terwujudnya budaya hidup damai bagi segenap elemen warga Nagekeo yang beragam dan bukannya, berapa jumlah rumah ibadah yang berhasil dibangun di seluruh Nagekeo, misalnya. Kapolres itu penjaga kerukunan, bukan tukang sosialisasi izin pendirian dan pembangunan rumah ibadah. Jika itu yang menonjol, warga patut curiga: siapa pesan sponsornya?

Baca Juga :  Memaknai Hari Guru: Pancasila Adalah Sumber & Keunikan Pendidikan Indonesia

Kita mesti sedari awal mengingatkan Kapolres Yudha Pranata bahwa rakyat Flores umumnya dan Nagekeo khususnya sudah hidup dalam jejaring budaya damai dan kerukunan sejak leluhur nenek moyang dulu. Hidup damai dan rukun di Nagekeo itu telah terajut sebelum Kapolres Yudha lahir. Memang selalu ada narasi-narasi konflik lokal berbalut kepentingan yang terkadang diperbarui dalam persaingan politik lokal tapi semua itu tidak sampai mengoyak baju kedamaian. Maka kehadiran Kapolres Yudha tidak sama sekali meretas sebuah budaya hidup damai yang baru. Kapolres Yudha hanya diserahi tanggung jawab untuk memaksimalkan budaya hidup rukun dan damai itu agar terimplementasi konkret dalam keseharian. Kapolres Yudha berdiri pada posisi yang netral, tidak memihak kelompok, golongan, suku atau agama tertentu karena justru itulah benih konlik teretas. Fakta yang terekam dan terbaca di nurani publik Nagekeo “berbicara” lain yang justru mendegradasi kehormatan negara yang melekat dalam jabatan Kapolres. Publik kritis menduga sangat kuat bahwa Kapolres Yudha sedang memaikan jurus konflik untuk memecahbelah elemen-elemen warga Nagekeo. Publik menduga amat kuat ada “misi terselubung” Kapolres Nagekeo yang mesti diwaspadai dengan sikap kritis dan nurani “terjaga” demi keutuhan, kekeluargaan dan persaudaraan. Nilai-nilai ini yang sedang dirusakkan melalui politik “devide et impera” berbaju baru.
Peringatan agar tetap kritis dan waspada terhadap berbagai aksi dan tindakan, entah dari siapa pun, termasuk yang datang ke Flores atas nama negara, yang terkesan “mulia dan jujur” ini urgen direfleksikan. Peringatan itu membangunkan kita dari tidur panjang apatisme karena kemapanan dalam hidup keagamaan ratusan tahun dan kemapanan sebagai mayoritas sehingga terlanjut berpikir baik-baik saja kepada semua orang. Sikap mapan dalam religiositas dan predikat mayoritas membuat kita kehilangan kesadaran ketika dijebak ke dalam jurang kehancuran.

Baca Juga :  Jakarta Belum Memiliki Strategi Mengantisipasi Kebakaran

Kita berpikir semua orang baik sehingga kehilangan sikap kritis saat dibohongi setan berwajah kuasa, uang dan jabatan. Atas nama kehausan jabatan bupati misalnya, seorang politisi (Katolik) rela bergabung dengan para “destroyer” untuk menghadirkan mudarat bagi keluarganya sendiri. Publik mesti setia mengingatkan para politisi khususnya di Nagekeo agar lebih waras dalam mengejar kekuasaan (politik). Politisi yang waras tidak akan membiarkan dirinya dijebak menjadi kendaraan siap pakai oleh kelompok “destroyer” yang gerakan sadisnya “bagai singa yang mengaum-ngaum mencari mangsa.” Sebelum jadi mangsa yang akan dilempar ke tempat paling gelap, segera berbalik meninggalkan kelompok “destroyer”. Tidak ada kata terlambat bagi orang yang sadar akan keselamatan.

Baca Juga :  Guru Adalah Nabi Yang Berpikir, Mengajar dan Menghibur

Kapolres (Diduga) Perusak?
Penulis terkaget-kaget membaca postingan percakan Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata yang berinisiatif membentuk grup WhatsApp Kaisar Hitam (KH) “Destroyer” yang beranggotakan Polres Nagekeo dan sejumlah wartawan yang bekerja di Nagekeo. “Destroyer” merupakan kata Bahasa Inggris yang berarti perusak yang merupakan turunan dari kata “destroy” yaitu menghancurkan. Kapolres Yudha mengakui pembentukan grup tersebut dan kehadiran lima wartawan. Kita sebut saja nama medianya agar seluruh rakyat Nagekeo tahu orang-orang ini sehingga tidak begitu percaya pada debur suara mereka. Nusantarapedia.net; Laskarmedia.com; Sergap.id; Mindonews.co.id; dan Victorynews.id. Wajah-wajah pekerja media ini bisa cari di Polres Nagekeo atau gabung dalam grup WhatsApp “KH Destroyer.” Nama “Kaisar Hitam Destroyer” sangat menyeramkan seseram nama media Laskar, Sergap dan lain-lain. Nama-nama ini mengingatkan kembali masa kelam kasus penculikan aktivis dan mahasiswa tahun 1998.