Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

Tempo vs Bahlil, Perlukah Tempo Meminta Maaf

Reporter : JMSI Editor: Redaksi
1000267707

Oleh: Marah Sakti Siregar

PERNYATAAN itu mengemuka dan menjadi bahan diskusi sejumlah wartawan senior di Jakarta. Mereka merespon hasil ajudikasi Dewan Pers terkait pengaduan Menteri Investasi Dahlil Lahadalia terhadap Majalah Tempo, edisi 4-10 Maret 2024.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Ditanda tangani Ketua Dewan Pers DR Ninik Rahayu pada 18 Maret 2024, hasil ajudikasi itu dikeluarkan dalam bentuk Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers. Butir pertama dari 7 poin PPR no 7 tahun 2024 itu meminta: “Teradu (Majalah Tempo) wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu (Bahlil Lahadalia) secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima.”

Frasa harus meminta maaf itulah yang dipersoalkan. Beberapa wartawan yang kebetulan semuanya adalah para petinggi dan pengurus PWI Pusat serta Forum Pemred. Mereka sepertinya kompak. Berkeberatan dengan frasa tersebut. “Kalau melayani Hak Jawab, ok. Tapi disertai permintaan maaf, rasanya gak perlulah,” kata Rosiana Silalahi, Pemimpin Redaksi Kompas TV.

Setidaknya lima wartawan senior lain: Ilham Bintang, Wahyu Muryadi, Timbo Siahaan, Asro Kamal Rokan, ikut larut bersama Rosi dalam diskusi intensif membahas PPR Dewan Pers. Mereka bertemu usai menghadiri acara Buka Puasa Bersama yang digelar direksi PT Astra International, Tbk.

Baca Juga :  Advokad: Antara Klien, Hukum dan Keadilan

“ Tadi ketika bertemu dengan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saya sudah langsung bilang kok Dewan Pers malah menyalahkan media pers yang kritis melakukan kontrol sosial,” kata Timbo Siahaan, mantan Penanggung Jawab Redaksi JakTV.

Ilham Bintang, Ketua Dewan Penasihat PWI Pusat dan sebelumnya adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI yang kritis, mengatakan dia tersentak dan terpukul ketika membaca berita beberapa media yang menuliskan judul berita yang malah mengeksploitasi diksi permintaan maaf itu.

Salah satu contoh:

“Dewan Pers Perintahkan Tempo Meminta Maaf ke Bahlil, ” judul berita RMOL.id, 18 Maret, pukul 20.41. WIB. Siapa pun yang membaca keseluruhan berita RMOL.id itu—dan juga berita sejenis lainnya di hari yang sama— akan mendapat kesan negatif. Majalah Tempo melalui hasil Liputan Investigasinya terkait sepak terjang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam kegiatan perizinan pertambangan, telah dipersalahkan karena sudah diperintahkan harus minta maaf. Laporan Investigasinya dinilai tidak akurat dan media itu melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik.
Kesan negatif itu muncul karena judul dan isi berita terkait PPR Dewan Pers di sejumlah media, termasuk berita di Lembaga Kantor Berita Antara.

Selain sepihak, hanya mengutip komentar Bahlil, beberapa media itu juga cuma mencuplik sepotong PPR Dewan Pers no 7 tahun 2024. Sialnya, para penulis berita media tadi pun malah keliru dalam memaknai diksi Rekomendasi Dewan Pers. Mereka menyebutkannya sebagai perintah.
Realitas itulah yang disesali para wartawan senior yang telah membaca Laporan Utama Tempo bertajuk: “Main Upeti Izin Tambang”. Juga, menyimak percakapan di siniar (podcast) YouTube Tempo: Bocor Alus Politik.
Kedua produk jurnalistik itu secara gamblang mengungkapkan aksi lancung Menteri Investasi/Ketua BKPM Bahlil Lahadalia selaku Ketua Satuan Tugas Percepatan Investasi dan Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Investasi, dalam mencabut ribuan izin usaha pertambangan di pelbagai tempat. Langkah itu kemudian ditengarai diiringi oleh orang-orang dekatnya yang meminta upeti dan saham dari pemilik perusahaan yang izin usahanya dicabut atau dibatalkan, jika mereka mau menghidupkan lagi IUP mereka.

Baca Juga :  Dilematika Seleksi Perangkat Desa Serentak Kabupaten TTS

Seriusnya, kedua laporan jurnalistik Tempo juga menyebutkan keterlibatan Presiden Jokowi —yang dalam kaitan untuk menggiatkan investasi di dalam negeri —telah memberikan otoritas lebih kepada Menteri Bahlil lewat Keppres dan Perpres.
Setidaknya ada dua Keppres dan satu Perpres sudah ditanda tangani Presiden Jokowi untuk memperkuat gerak Bahlil dalam menangani investasi pertambangan dan perkebunan. Yakni, pertama, Keppres no 11 tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Kedua, Keppres no 1 tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Baca Juga :  Jakarta Belum Memiliki Strategi Mengantisipasi Kebakaran

Selain itu. ada juga Perpres no 70 tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi. Satuan tugas ini dibentuk oleh Presiden dalam rangka penataan penggunaan lahan secara berkeadilan, penataan perizinan berusaha untuk sektor pertambangan, perkebunan dan pemanfaatan hutan, serta dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam.
Semua Keppres dan Perpres yang memperkuat sepak terjang Bahlil sebagai Ketua Satgas di sektor pertambangan dan perkebunan itu, menurut Majalah Tempo, berpotensi melanggar hukum. Sebab menabrak beberapa pasal dalam UU no 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Misalnya, Pasal 51 dan 61 UU Minerba menyebutkan bahwa wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, perusahaan perseorangan dengan cara lelang. Lelang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Energi dam Sumber Daya Alam (ESDM), bukan oleh Satgas Investasi. Selain itu, ada pasal lain juga dalam UU Minerba, yakni, pasal 119, yang memastikan bahwa pencabutan IUP dan IUPK menjadi otoritas Menteri ESDM.

Menyikapi laporan investigasi Tempo dan juga percakapan di siniar Bocor Alus Politik Tempo yang tajam mengungkapkan sepak terjangnya di sektor pertambangan, Menteri Bahlil menyampaikan keberatan dan pengaduannya kepada Dewan Pers pada tanggal 5 Maret 2024.

Disclaimer:
Artikel Ini Merupakan Kerja Sama Flobamora-News.Com Dengan JMSI . Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi artikel menjadi tanggung jawab JMSI .