Merujuk aturan tersebut, tidak sedikit partai politik hanya berupaya sekedarnya saja mencari caleg perempuan. Gunanya adalah untuk melengkapi pemenuhan syarat daftar caleg yang diusulkan ke KPU dengan mengabaikan pertimbangan kapasitas dan kualitas apa yang harus dipenuhi.
Menanggapi hal itu, Linda Boleng dengan tegas menyatakan bahwa motivasinya maju menjadi calon legislatif tidak hanya sekedar memenuhi kuota 30 persen tersebut. Bahkan Linda mengritisi bahkan mengritisi partai Politik yang mendaftar caleg perempuan tidak lebih dari 30 persen. “Niat saya maju caleg ini memang bukan hanya sekedar pelengkap, karena memang saya punya kemampuan” tandas perempuan Lulusan Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) ini.
Partisipasi perempuan dalam politik dan publik merupakan salah satu pre-existing conditions bagi demokrasi seutuhnya (Anne-Marie Goetz dan Shireen Hassim). Lebih jauh lagi, bila perempuan tampil sebagai pembuat kebijakan (policy maker) maka akan memberi kontribusi sangat besar pada kesetaraan gender dalam kehidupan demokrasi.
Oleh karenanya adalah penting mengkombinasi politics of presence dan politics of ideas (Anne Phillips, The Politics of Presence), perempuan harus hadir (present) dan memberi makna (influence) agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkan parlemen menjadi responsif gender.
Linda melihat, fenomena minimnya keterlibatan perempuan dalam Pemilihan Legislatif sampai kepada perebutan kursi di parlemen baik di Senayan maupun sampai ke tingkat daerah sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak era reformasi. Itu karena kaum perempuan cenderung dimanfaatkan sebagai alat politik melengkapi kuota tersebut. Parahnya lagi, caleg perempuan yang bersangkutan dengan tau dan mau dimanfaatkan hanya untuk kepentingan sesaat.
“Caleg perempuan ini hanya mau ditempatkan sebagai caleg sekedar pelengkap 30 persen tapi mereka tidak mau bekerja mencari suara maupun sosialisasi ke masyarakat, sehingga perolehan suaranya tidak signifikan” ungkapnya.
Di dalam sistem demokrasi, yang memegang prinsip kebebasan siapa saja bisa menjadi pemimpin dan berada didalam lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif. Ketika perempuan sedikit berada dalam legislatif maka keterwakilan dan pemikiran dari perspektif perempuan justru akan hilang dan tidak terwakilkan.
Ketika laki-laki mendominasi di dalam legislatif maka akan timbul sebuah sistem sosial yang disebut patriarki. Di dalam buku Ade Irma Sakina, Dessy Hasanah Siti A. (2017). “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia”disebutkan bahwa Patriarki berasal dari kata patriarki yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.