Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Problem Kemiskinan di Indonesia dan NTT

Avatar photo
images 43

Dari data pengamatan itu, penduduk miskin di daerah perkotaan di NTT pada September 2018 sebesar 9,09 persen, turun menjadi 8,84 persen pada Maret 2019. “Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 24,65 persen, naik menjadi 24,91 persen pada Maret 2019”. Data olahan BPS, secara rata-rata, rumah tangga miskin di Provinsi NTT pada Maret 2019 adalah 5,84 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp 2.183.704/rumah tangga miskin/bulan. Sementara untuk garis kemiskinan pada Maret 2019 tercatat sebesar Rp373.922,-/kapita/bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp292.305,-/kapita/bulan (78,17 persen). “selanjutnya garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 81.617,-/kapita/bulan atau 21,83 persen.

Menyangkut kemiskinan, persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan presentase penduduk miskin. Namun, dimensi lain juga perlu diperhatikan yaitu tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan itu sendiri. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan sedangkan indeks keparahan kemiskinan mengindikasikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Selain itu pula, soal kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Provinsi NTT pada Februari 2019 mengalami kenaikan 3,10 persen dibandingkan Februari 2018 dan Agustus 2018 dengan kenaikan masing-masing sebesar 0,12 persen poin dan 0,09 persen poin. Tingkat pengangguran terbuka di NTT juga mengalami peningkatan mencapai 3 persen.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Kondisi ini juga dipengaruhi beberapa yakni kondisi alam di Provinsi NTT tandus dan gersang. Kekeringan, rawan pangan menjadi permasalahan rutin warga NTT. Kemiskinan, kasus gizi buruk, angka putus sekolah, serta akses fasilitas kesehatan yang kurang memadai menjadi mata rantai lanjutan dari persoalan. NTT memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup besar dan beragam. Namun, sampai saat ini, potensi setiap sektor tersebut belum secara optimal dapat memberikan nilai tambah yang signifikan untuk menyejahterakan rakyat dan daerah NTT.

Baca Juga :  Semy Ndolu: SMK Negeri 4 Siapkan Siswa Bersaing di Dunia Kerja

Hal ini disebabkan karena masih kurangnya investasi yang dilakukan. Masih tingginya kemiskinan menunjukan bahwa penanganan yang serius dari pemerintah maupun stakeholder sangat diperlukan untuk meminimalisir angka kemiskinan.

Sejalan dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang mulai diberlakukan sejak tahun 2001, pemerintah daerah kini berwenang penuh merancang dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan sesuai dengan kebutuhannya. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah tidak hanya melaksanakan program pembangunan tetapi juga bertanggung jawab secara langsung dan aktif dalam penanganan kemiskinan, sehingga untuk menanggulangi kemiskinan perlu dikaji selain faktor-faktor disebutnya sebelumnya yang mempengaruhi kemiskinan, khususnya di NTT.

images 46

Dampak Kemiskinan

Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat sehingga akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.

Baca Juga :  Terorisme Jadi Ancaman Kemanusiaan Bangsa-Bangsa di Dunia

Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air, akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global.

Dalam konteks daya beli di tengah melemahnya daya beli masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan yakni hampir tiga perempatnya (74,99 persen).

Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan (growth). Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam, misalnya banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya, jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK (Putus Hubungan Kerja).

Baca Juga :  Tokoh Muda NTT Johanis Richard Riwoe Siap Gelar Event Open Turnamen Richard Riwoe Cup I

Kedua, Kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu (dengan cara mengintimidasi orang lain) di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.

Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.

Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher. Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi sesungguhnya negara sudah melakukan “pemiskinan struktural” terhadap rakyatnya. Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam.