Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

Kapolres “Destroyer” Nagekeo

Avatar photo
Editor: Destroyer
IMG 20230420 WA0107

Kapolres Yudha membentuk grup ini saja sudah menghadirkan perpecahan di Nagekeo khususnya di kalangan pekerja media. Orang ini berhasrat memegang kendali guliran informasi di seantero Nagekeo. Kapolres Yudha diduga salah tempat di Nagekeo saat ini. Kita mesti ingatkan orang ini agar jangan berpikir bahwa Nagekeo itu hutan rimba yang bisa dikendalikan oleh sebuah jabatan momental. Membentuk grup dengan anggota jurnalis berarti Kapolres Yudha dengan kesadaran penuh menabur benih-benih konflik dan perpecahan yang tidak hanya sebatas di kalangan jurnalis tapi seluruh elemen rakyat Nagekeo. Rakyat Nagekeo bisa membaca mutu dan kualitas Kapolres Nagekeo yang kehadiran, ulah dan perilakunya justru bertentangan dengan semangat Kapolri Sigit yang mengidealkan polisi manusiawi, humanis dan bersahabat dengan rakyat. Kapolres Yudha rupanya tidak ikuti perkembangan sehingga perilakunya seolah berada di tengah hutan rimba.

Kapolres Yudha dalam wawancara video mengatakan bahwa grup itu dimaksudkan untuk pembinaan terhadap wartawan. Kita harus ingatkan orang ini agar kembali menjadi representasi negara yang waras di bumi Nagekeo. Pembinaan jurnalis itu tanggung jawab Dewan Pers, organisasi jurnalis dan redaksi media. Apakah Yudha ini Pemred “Destroyer?” Memangnya Kapolres Yudha itu Ketua Dewan Pers “KH Destroyer” ala Nagekeo ya? Lebih aneh lagi ada jurnalis yang merelakan dirinya ibarat domba yang diantar ke arena pembantaian. Apa yang menggerakkan lima jurnalis ini menjadikan dirinya kuda tunggangan “destroyer” Kapolres Yudha? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh rakyat Nagekeo.
Semua hal di atas berbasis pada percakapan dalam grup tersebut yang menarasikan rencana jahat untuk mengkriminalisasi bahkan melenyapkan nyawa wartawan Tribun Flores, Patrick Jawa. Perilaku buruk Kapolres Yudha tidak bisa ditoleransi lagi dengan argumen apapun. Ungkapan buruk dalam grup terbukti benderang: “bikin dia stress baru buat catatan kaki, patahkan rahang, nanti saya urus dia, atur dulu, urusan belakangan, coba cara baik-baik dulu, kalau gak baru dijadikan sampah, sampah mending dibuang baru dimusnahkan, pengkhianat harus disingkirkan, dilenyapkan dari muka bumi sesuai dengan amanat UUD.”

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Narasi-narasi banal sarat kekerasan ini tidak pantas dibuat oleh pemimpin Nagekeo selevel Kapolres Yudha Pranata dan rekan-rekan jurnalis yang diduga telah diracuni benih kekerasan Kaisar Hitam. Publik patut menduga kuat bahwa Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata telah menghadirkan konflik dan perpecahan di Kabupaten Nagekeo. Melalui grup dengan nama sangat buruk itu ia merawat benih-benih kekerasan dan merencanakan sebuah kejahatan kemanusiaan: melenyakan nyawa seorang jurnalis. Grup medsos itu merupakan cara paling sadis Kapolres Yudha merepresi kebebasan pers dan kemerdekaan bersuara menyampaikan kebenaran di Kabupaten Nagekeo. Publik menduga, Kapolres Yudha tidak netral lagi sehingga pikiran, pernyataan dam langkah dalam proses hukum Polres Nagekeo di bawah kepemimpinannya sangat pantas untuk tidak dipercayai publik. Kasus Pasar Danga saja sangat kontroversial dan pengalihan proses hukum kasus ini ke Polda NTT membuktikan bahwa Yudha Pranata ini tidak mampu menegakkan hukum berbasis data, fakta dan kebenaran. Konferensi pers yang dilakukan pun sangat eksklusif, hanya dihadiri wartawan karbitan satu grup dengan Kapolres. Kualitas jurnalisme pun awut-awutan dengan desain pertanyaan sangat tidak berbobot. Kerja jurnalis serabutan model ini bagaimana bisa mencerdaskan pikiran dan mencerahkan kesadaran rakyat?

Baca Juga :  Selamat Jalan Mantri Hende: Perawat Berkualitas Dokter

Kualitas para jurnalis dalam grup bersama Kapolres tentu bisa diukur pada karya tulisannya, bukan mengekor pantatnya pada kekuasaan Kapolres. Wartawan yang membangun narasi jahat dan busuk sangat tidak pantas lagi menjadi jurnalis yang mesti merawat nurani, menjaga independensi dan meningkatkan kapasitas diri sehingga mampu menjadi “obor” kebenaran sosial kemanusiaan. Memang sekarang ini banyak orang tiba-tiba punya media, ada kartu tergantung di dada lalu berlagak melebihi jurnalis senior. Para wartawan senior asal NTT memukau dunia melalui karya berkualitas yang bertahan sepanjang masa karena kekuatan refleksi dalam karya. Mereka tampil sangat sahaja, rendah hati dan terus belajar berkarya hingga senja. Penulis merasa sedih membaca percakapan jahat rekan-rekan jurnalis Nagekeo yang menarasikan ada kebencian akut dalam diri.

Baca Juga :  Aspek Hukum Konstruksi Bawah Tanah Belum Lengkap: Apa Solusinya?

Kapolres Tebar Teror
Hasrat Kapolres Yudha untuk merepresi kebebasan pers di Nagekeo merupakan tindakan mengotori akal sehat. Fakta kriminalisasi terhadap jurnalis patut diduga berbasis pada “kepala batu” wartawan yang tidak tunduk pada kebanalan perilaku Kapolres yang berhasrat mengontrol aliran informasi dari Nagekeo. Publik mengingatkan Yudah agar membaca UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Pasal 6 UU Pers menyebutkan: Pers berperan untuk (a) memenuhi hak rakyat untuk mengetahui (right to know), (b) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan, (c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; (d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Semua tujuan pers itu rupanya menjadi beban berat bagi Kapolres Yudha sehingga ia harus membentuk satu grup WhatsApp agar bisa “membina, mengatur dan mengarahkan” pemberitaan sejalan dengan misi “destroy.” Polisi juga tidak boleh main panggil wartawan atas sengketa/delik pers atau terkait karya jurnalistik yang ditulisnya. Hal ini terkait karya jurnalistik, wartawan hanya tunduk pada UU Pers No.40 Tahun 1999. Maka Kapolres Yudha mesti segera berhenti pamer kekuasaan yang hanya sepotong itu. Sebaiknya bereskan semua kinerja di Polres. Menurut hasil survei Ombudsman NTT, Polres Nagekeo merupakan satu-satunya Polres di NTT yang memperoleh penilaian kualitas rendah terkait tingkat kepatuhan standar pelayanan publik (Ombudsman NTT 06/02/2023). Kita menduga, mungkin salah satunya karena Kapolres lebih sibuk bermain di grup kaisar hitam ketimbang membenahi pelayanan kepada rakyat.

Baca Juga :  Memaknai Hari Guru: Pancasila Adalah Sumber & Keunikan Pendidikan Indonesia

Publik harus mengingatkan Kapolres Yudha sekali lagi agar tahu dokumen lain terkait relasi kepolisian dan pers agar tidak meneror pers dan warga Nagekeo seturut minimnya isi kepala dan kotornya nurani. Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia telah menandatangani perjanjian kerja sama tentang perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan. Kerja sama ini tertuang dalam surat Nomor 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022. Tujuan utama PKS ini untuk meminimalkan kriminalisasi terhadap karya-karya jurnalistik.
Perjanjian kerja sama ini menjadi pedoman bagi Dewan Pers dan Polri dalam pelaksanaan teknis perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan profesi wartawan. Dengan kerja sama ini diharapkan tidak ada lagi wartawan yang dilaporkan kepada polisi dengan menggunakan regulasi selain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Harapanya adalah tidak ada lagi kriminalisasi terhadap wartawan ketika mengalami sengketa dalam pemberitaan. Sengketa pemberitaan hanya diselesaikan lewat UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan direkomendasikan oleh Dewan Pers.