Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Oecusse dan Sejarah Masuknya Gereja Katolik di Pulau Timor

Avatar photo
IMG 20190619 WA0029 1

Antara tahun 1625 sampai tahun 1663, VOC semakin intensif melakukan perlawanan ke daerah kedudukan Portugis di pulau Solor. Dan ketika Solor jatuh ke tangan Belanda, pusat misi Portugis berpindah ke Larantuka.

Tujuh Misionaris Dominikan yang ada di Solor bersama 30 orang Portugis dan Tuppasi, diikuti 1000 orang asli yang beragama Katolik pindah dari Solor ke pusat baru Larantuka.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Tahun 1629 Frei Cristavao Rangel OP datang dari Larantuka ke “Silabao” (Silawan) dan Januli (Atapupu), mempermandikan Raja dengan banyak rakyatnya dan mendirikan sebuah gereja di situ. Karena orang-orang Makasar yang ada di situ coba meracuni dia, maka ia terpaksa pulang ke Larantuka dan dapat diganti oleh Frei Bento Serao OP.

IMG 20190619 WA0028
Bukti Mena menjai pusat misi Portugis, yaitu adanya fondasi semen yang masih ada di ujung tanjung Bastian

Tahun 1630, Frei Luis da Paizao OP datang ke Kupang untuk bertemu Raja Ampono, tetapi dalam waktu singkat dia dibunuh oleh orang Nisnoni.

Baca Juga :  Wartawan Indonesia Hadiri Peringati 44 Tahun Tragedi Balibo Five di Timor Leste

Tanggal 12 Maret 1630 datanglah dari Malaka ke Lohajong seorang Misionaris Dominikan bernama ANTONIO DE SANTO JASINTO OP. Ia kemudian menjadi RASUL PULAU TIMOR.

Tahun 1639 Padre Antonio de Santo Jasinto untuk pertama kalinya mengunjungi Timor setelah tinggal beberapa waktu di Lohajong.

Ia pergi ke Mena untuk bertemu dengan Ratu janda Mena, tetapi karena Ratu tidak menerima dia dengan baik maka ia kemudian pulang ke Lohajong sambil menanti saat yang baik dan tepat untuk kembali ke Mena.

Pantai utara pulau Timor sering mendapat gangguan dari kerajaan-kerajaan dari pulau-pulau sekitar, seperti Raja Makasar yang ingin juga menguasai Pulau Timor. Maka pada tahun 1641 Raja Tello Sumbaco, dari Makasar mendarat di Mena, di pantai utara Pulau Timor.

Baca Juga :  Mengapa Harus Berdoa Rosario?

Ratu Mena bersama rakyatnya kewalahan menghadapi kehadiran pasukan kerajaan Makasar itu. Karena jauh sebelumnya mereka telah mengadakan hubungan yang baik dengan orang Portugis maka Ratu akhirnya meminta bantuan kepada orang Portugis di Larantuka.

Dari sana datang Comisario-General Antonio de Santo Jasinto bersama 2 kapal dan 70 tentara. Dengan bantuan ini maka Ratu Mena dengan penuh percaya diri mengerahkan rakyatnya untuk melawan kehadiran raja Tello Sumbaco dari Makasar.

Setelah tiga bulan berperang akhirnya raja Tello Sumbaco bersama sisa tentaranya pulang dengan kekalahan. Saat baik dan tepat yang ditunggu Padre Frei Antonio de Santo Jasinto pun tiba.

Ratu Mena sekarang menjadi lebih kooperatif dan terbuka menerima kehadiran misi Katolik yang kedua kalinya di wilayah kerajaannya. Hasilnya bahwa tanggal 24 Juni 1641 Ratu Mena dengan anak sulungnya Johanes dan banyak rakyat lain lagi dipermandikan oleh Frei Antonio de Santo Jasinto.

Baca Juga :  Peran Gereja dalam Meningkatkan Kualitas SDM

Tanggal 1 Juli 1641 Padre Frei Antonio de Santo Jasinto diminta oleh Ratu janda Ambenu untuk datang ke Oekusi, dan di sana Padre Frei Antonio mempermandikannya, anak laki-laki “Petrus” dan 4 anak perempuannya di Lifao.

Kehadiran Padre Frei Antonio rupanya tersebar juga ke kerajaan-kerajaan sekitar sehingga ketika dia hendak naik kapal untuk pulang ke Larantuka guna melaporkan diri, datanglah satu rombongan dengan 11 orang dari raja Amanuban.

Mereka memohon kedatangan Padre Frei Antonio ke istana raja Amanuban, supaya mengajarkan agama Katolik kepada orang-orang Amanuban.