Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Perlindungan Penyandang Disabilitas dari Kekerasan Seksual

Avatar photo
IMG 20190718 WA0048

Dalam kesempatan itu, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan NTT, drg. Maria Silalahi, menyampaikan perlunya akses pelayanan kesehatan bagi kaum disabilitas, juga kesehatan untuk ibu dan anak.

“Untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas maka diperlukan adaya pelayanan konseling, agar tercipta komunikasi yang terbuka. Apalagi soal kesehatan reproduksi, tentunya sangat tabu untuk dibicarakan bagi sebagian besar orang,” jelas Maria.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Maria juga menyebutkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Pada tahun 2017 menyentuh angka 348.446 kasus. Hal tersebut terbagi dalam kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Tanda Tangani Keppres Amnesti Baiq Nuril

“Tidak hanya itu, tingginya kematian bayi di NTT pada tahun 2018 mencapai 1.265 kasus. Ini juga membuktikan bahwa kesehatan ibu dan anak masih menjadi masalah besar. Saat ini juga sedang dijalankan program puskesmas ramah anak, agar memenuhi kriteria yang baik untuk pelayanan kesehatan anak. Contohnya saat ini, ada di Puskesmas Pasir Panjang, Kota Kupang,” tambah Maria.

Sedangkan Perwakilan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) Yogyakarta, Rini Rindawati mengatakan, sebaiknya kesehatan reprodusi diajarkan sejak dini pada penyandang disabilitas dan semua anak-anak. Bukan hanya untuk mencegah agar tidak menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga menjaga agar mereka tidak menjadi pelaku kekerasan tersebut.

Baca Juga :  Fraksi Nasdem dan Golkar Malaka Dominasi Pimpinan Komisi.

“Penyandang disabilitas juga sama dengan orang normal yang lain. Mereka juga mengalami perkembangan seksual, dorongan dan hasrat seksual. Kita perlu mengajarkan secara bijak, agar mereka juga mengetahui, sehingga mereka bisa mengontrol hasrat seksualnya,” jelas Rini.